Jumat, 04 Maret 2011

DALAM PELUKAN SENJA




Semua hal bisa terjadi sebelum senja nanti. waktu kecil aku harus menuntut demi kepuasan. Aku tak rela bila kepuasan itu tidak terpenuhi. Kuanggap naif dan tidak bertanggung jawab. Ibu satu-satunya yang menjadi tong sampah kekejamanku, Setiap saat ia  menerima perintah, menjadi amukan ego bapak. tapi ia tidak pernah terusik hatinya untuk menyakinkan keluarga. Keluarga memang pilihan satu-satunya untuk merangkai cita-cita, menanamkan sebuah makna tentang sejarah kehidupan ini. Mengajarkan prinsip bukan dengan ciptaan kata-kata tetapi dengan keiklasa perbuat. Ibu tidak mau menggantungkan seribu kalimat yang bergantungan di atas langit sementara keluarganya menjadi beban, karena tidak sanggup mengepingkan kekuatan meraih akhirnya terlerpar dan menjadi dendam mengalir di jiwanya. Ibu akan hadir sebelum sinar muncul di ufuk timur.
Bila Adzan subuh berkumandang sang ibu mulai panik menjamah gelap ruangan dapur, Diwaktu manusia terlelap menikmati dinginnya malam Ia bingung sendirian menjawab setumpuk perasaan keluarga. bahkan ia harus berubah dewa menerima permintaan umatnya. Sebelum senja tiba ibu akan datang menyambutnya. Menepis bebatuan yang menepi di tiap nadi manusia hingga mereka tidak terbuai murka.
Pagi yang sepi, gemercik embun memandikan rumah perkampungan yang lesu. Bapak petani mulai siap menggandeng cangkul untuk meratakan ladang sawah yang liat, sang ibu mondar mandir melengkapi sebungkus takir dan penyembuh terik matahari. Ia tidak pernah henti-henti menangkap perasaan suaminya, sesudah itu ia kembali harus menyusul suami  kesawah mengurangi beban pekerjaannya. Semua keajaiban dalam hidup ini hanya ibu yang mengartikannya.
Ditengah sibuknya ibu, ia menyiapkan tugasku. Saparan segera ia tawarkan, ia pasti marah tatkala aku menolaknya. Yang aku tahu sarapan pagi itu hanya tradisi nenek moyang yang di ajarkan untuk anak-anak. Bagiku yang penting kasih uang jajan sudah cukup, sarapan pagi kuganti beramai-ramai main bola dengan teman-teman. Tapi ibu tidak suka alasan itu, baginya dengan sarapan pagi semua ketenangan akan didapat termasuk masa depanku. Namun Aku tetap lalai
“kenapa ibu memaksaku sarapan pagi ”
“selain ibu menghormati kamu karena akan menuntut ilmu tuhan, ibu mempelajari kepuasan sejati yang kau minta selama ini”dengan penuh keyakinan hingga aku dewasa nanti.
Siang dan malam semua menjadi kakasih ibu, seakan profesi untuk menjamin kepuasan keluarga di bebankan kepadanya. Aku tidak pernah peduli ketika aku masuk rumah ibu membalas kelelahanku dengan senyumnya, Mencium ubunku, ia memelukku penuh bangga. Bahkan aku tak mau peduli setiap langkah yang ia bacakan, perih yang ia jalankan, dendam yang ia singkirkan tanpa harus menitikkan air mata.
Ketabahannya ia titipkan sebelum aku berangkat menuju cita-cita yang berbeda dalam mempelajari kehidupan. Kepeduliannya yang tak pernah sirna di hati ini, kasih sayang hingga aku meratapi keadaan yang baru di ujung senja. Aku baru merasakan betapa ajaran ibu itu sangat ampuh mempelajari sebuah arti kehidupan.
Secara formal ibu memang buta pendidikan, dan pelajaran yang ibu berikan sulit aku temui dalam ruang resmi yang aku geluti setiap hari ini. Ruangan ini penuh perjanjian yang membelunggu, tanpa mendaki tangga keikhlasan. semua berdarah-darah penuh dendam. Kebencian mengalir ditubuh manusia, saling membunuh satu-sama lain. Mereka tidak mau peduli kepedihan yang di rasakan manusia. Yang berkuasa merekalah menjadi raja. Menginjak-nginjak tengguknya, melumuri sebilah pedang. Hilang saja cinta mereka untuk memeluknya.

***
Kini senja sudah tiba, aku mulai merasakan begitu sempit keinginan manusia. dunia ini tidak ubahnya ring pertandingan. Mengangkat tangan setinggi-tingginya agar semua tunduk. Pagiku, malamku seakan hanya diwarnai segenggam keinginan yang tak pasti. Tuntutan hari agar sampai pada cita-cita tinggal satu inci lagi. nama ibu hanya hidup dalam hati, ia hadir setiap saat aku menjalaninya.
Dulu aku lalai pada kehidupan yang di ajarkan ibu”menanamkan sebuah makna tentang sejarah kehidupan ini. Mengajarkan prinsip bukan dengan ciptaan kata-kata tetapi dengan keiklasan perbuat. Ibu tidak mau menggantungkan seribu kalimat yang bergantungan di atas langit sementara keluarganya menjadi beban, karena tidak sanggup mengepingkan kekuatan meraih akhirnya terlerpar dan menjadi dendam mengalir di jiwanya.”
            Beban hidup semakin memperbudak. Aku harus melewati kepedihan, aku harus terjatuh, bahkan aku harus rela dengan tusukan hinaan murkannya. Belas kasih yang kurindukan kini menghilang disetiap luka perih di tubuh, wajah dan hatiku.
            Sebentar lagi aku akan menyingsing kehidupan baru bersama istri dan akan membentangkan perjalanan panjang seperti yang pernah ibu maknai. Apakah aku akan terbuai tanpa cinta?apakah akan memaknai perjalanan itu hanya berakhir jasa tanpa menguburkan dalam-dalam di hati manusia atau sekedar menabur kata-kata yang hanya akan menjatuhkan korban dan dendam?.
            Aku merindukan hari-hari sebelum senja. aku tak akan bisa mengarungi kehidupan ini tanpa ibu. cinta ibu begitu lembut, indah menyentuh jiwa Menghapuskan beban gelisah. Ia selalu hadir dalam gelapku.

logo LPM esensi STITA terate sumenep

AKU PULANG



“Berangkatlah nak, saatnya kau belajar nekat. Camkan baik-baik di Dadamu” begitulah ucapan terakhir D’le awal keberangkatanku kuliah. Suasana begitu rintih mendengarnya, terlebih dada yang terenyuh meresapi keinginannya meyakiniku setiap saat. D’le satu-satunya dalam keluargaku sekaligus guru sejak aku lahir dan mengenal nama-nama keluarga satu persatu. Beliau memang bukan insinyur, bukan profesional atau apalah sebutan sekarang. Beliau hanya menyakini jika orang berpendidikan benar ia akan terlahir sejati.
Simfoni dan simbol motivasinya sehari-hari dalam keluarga tidak lepas dari ucapan dan kerja. Sebagai petani ia selalu bersyukur apa adanya. Sejak kaki kulangkahkan menaiki perahu air mata menetes dengan berat rasa melihat kampung dan orang-orang yang iklas menaruh doa di saku ini. Begitu polosnya mereka mengatakan  seiring beban yang aku rasakan hari ini.
Antara Pesimis atau Optimis tumpang tindih bergantian meresahkan dada. Orang-orang menaruh harapan besar kepadaku. Entah kenapa orang punyak pengakuan bahwa kepergianku selaksa sang pencerah bagi mereka, tanpa ada ragu dan merasa beban mengatakannya, ada penyakit yang dirasakan sepangjang ini, itu yang kubaca dari wajah orang-orang kampung yang berjejer panjang di tepi pantai ini. Ada arus yang membawanya, ada pengetahuan yang mereka Buntuti.
Bertahun-tahun lamanya kampungku bodoh, miskin dan terisolasi. Anak anak yang lahir dihadapkan dengan budaya mengekang, budaya yang ada tidak pernah tumbuh sesuai keinginan manusia. budaya lahir atas kepercayaan mistik yang membuat banyak orang kampung berilusi sepanjang zaman. Orang kampung berlomba-lomba demi menutupi rasa gengsi masing-masing, mereka rela tanpa beban apa-apa terhadap hutang keluarga Ketimbang digunakan untuk menyekolahkan anaknya. Mereka bingung bukan kepalang lantaran anaknya belum menikah. Kadang orang tua sendiri tidak mengakui kalau anak perempuannya punyak perasaan dan hati yang menjadi pertimbangan masa depan kaum hawa. Aku mengakui orang-orang kampung terlalu mendewakan, sifat dualisme yang keluar dari ajaran agama.
”Keluar sekolah dasar aku tidak pernah di setting menuju perkawinan. Aku bebas ikatan dengan perempuan kampung. D’ le selalu mengarahkan cita-cita dengan berpendidikan tinggi ”Disini tempat bebas kau bercita-cita ”ujarnya tatkala beliau mengantarku kesekolah lanjutan, aku resah karena siswa yang belajar hanya sembilan siswa, itupun titipan orang tua yang sedang menunggu pihak mempelai perempuan lulus sekolah dasar.”
Maklum, aku berasal dari Desa nan jauh dari hiruk pikuk kendaraan. Harus menaiki perahu satu pulau kepulau lain. Kadang untuk menghemat aku harus jalan menuju kecamatan, abang ojek yang membuntuti sampai dibuat marah akibat kelelahan mengikutiku. Setiap langkah kaki ini menjadi sejarah dalam kehidupan perjalananku nanti. Aku rela menatap dada demi tugas yang selalu D’ le tanamkan. keringat di tubuh ini akan aku hadiahkan untuk sejarah perjuangan panjangku.
Berat hidup di kota metropolitan. Dalam beberapa hari aku berkenalan untuk mencari tempat sesuai recehan yang tersisa. Untuk sementara aku mengungsi di pelataran masjid, berjalan tiap hari masa menjadi Maba sampai tuhan memperkenalkan aku kepada AA, A.S, AG, S. Karni Sang Revolusioner kehidupan baruku.
Cita-cita yang tersemat aku lalui dari lingkungan kecil ini, mungkin semangat yang setiap saat mereka berikan aku kejar. Kehidupan sehari-hari sama seperti kehidupan di kampungku, aku memilih sederhana untuk menyeimbangkan semangatku. seluruh perhatianku kutujukan supaya lebih memilih kehidupan bergelut buku, mengikuti seminar di kuliahan,. Pengalaman demi pengalaman aku dapatkan lantaran aktif di berbagai kegiatan Revolusi.
Kota Metro memang punyak orang-orang tertentu, yang tampak Mercesuar dan sinyal kehidupan orang Borjuis, mungkin mereka mengatakan merdeka, tentu mereka memilih saling hidup sendiri. Aku tidak pernah mengikuti alur yang mereka lalui karena akan menjauhkan dari kehidupan kampungku nanti. Orang-orang kampung pasti menunggu dengan salam ilahi setiap shalat. Mungkin hari ini dari lubuk hatinya meyakini ada sesuatu yang salah, entah siapa yang akan mengatakan nanti. Mereka sudah terikat darah dan nafsu gensinya untuk melepaskan dari budaya itu. Mereka sudah janji sebuah penghianatan bila meninggalkan.
”Aku merasakan sendiri masih banyak  persoalan di metro ini yang harus mereka kerjakan, jangankan di kampungku, di sekitar mall, supermarket dan gedung-gedung mencakar langit orang-orang yang sama menangis kelaparan. Mungkin tidak masuk akal kalau dalam perbaikan kampungku terlebih dahulu. Aku ingat ucapan D’le ”Awali dari dirimu menuju yang lebih Besar ”.

***
Selama enam tahun aku kuliah. Aku sengaja tidak pulang kampung mengingat belum ada kesiapan, mungkin beban kampung itu masih tersisa. tapi dalam hari-hariku wajah orang-orang kampung selalu memanggilku, dalam mimpiku setiap malam banyak orang berjejer menunggu di tepi pantai, ada kemeriahan pesta adat di rumah D’le. mimpi itu setiap hari menggugurkan keinginanku di sini. Doa mereka terus aku dengar di sepanjang jalan kota metro ini.
Hari-hari yang kurindukan!. Sudah lama tidak ketemu D’le, bertahun-tahun aku menulis kepribadinya bahkan aku lukis dalam selipan mata uang yang kudapat setiap minggu. bagaimana wajahnya hari ini apakah seceriah yang kukenal dulu? Mungkinkah beliau lebih bijaksana untuk kegelisahan orang-orang kampung?bagaimana kesabarannya menunggu pengganti dirinya di kampung itu?.bagaimana rindunya beliau saat kedatanganku?
Entahlah, besok aku harus pulang. Aku kemas Buku-buku ini untuk orang-orang kampung. besok aku harus mengatakan selamat tingal teman-teman yang baik hati. Selamat tinggal kota metro, aku akan melepas ikata-ikatanmu hari ini.
Aku sudah tidak kuat memendam rindu ini pada kampungku!


Sumenep, Januari 2011